Islamic Widget

Tuesday, April 20, 2010

DAHSYATNYA SAKARATUL MAUT

setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan hal ini,kematian. mereka akan mengalami apa yang disebut dengan sakaratul maut, dibawah ini ada artikel menarik tentang sungguh dahsyatnya sakaratul maut yang akan kita alami semua. semoga bermanfaat!

Bismillah.
Allah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.

Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ

“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)

Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ

“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.

‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.

‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)

Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ

“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ

“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”

Maka jawabannya adalah:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ

“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh

Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)

Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

Wallahu a’lam bish showab.

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807

Koreksi Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu (2)

Berikut penjelasan hadits-hadits lemah (yang dimaksud pada poin di atas) tersebut.

Hadits Pertama

Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّتَيْنِ

“Dan beliau mengusap kepalanya dua kali.”

Hadits ini dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 11, Abu Daud no. 126, At-Tirmidzy no. 33, Ibnu Majah no. 438, Ahmad 6/359, Ath-Thabarany 24/no. 675, 681, 686, 687 dan dalam Al-Ausath no. 939, dan Al-Baihaqy 1/64. Semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dan dia ini adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa diterima haditsnya atau tidak. Dan saya lebih condong ke pendapat syeikh Muqbil rahimahullah yang menguatkan akan lemahnya riwayatnya, apalagi dalam hadits ini dia telah goncang dalam meriwayatkannya. Kegoncangan tersebut karena di dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Abu Daud no. 129, At-Tirmidzy no. 34, Ibnu Abi Syaibah no. 59, Al-Baihaqy 1/58-60, Ath-Thabarany 24/no. 689 dan dalam Al-Ausath no. 2388, 6100 dan dalam Ash-Shaghir no. 1167, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 144, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil menyebutkan mengusap kepala satu kali bukan dua kali. Maka ini memperkuat akan lemahnya hadits ini, Wallahu A’lam.

Hadits Kedua

Hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Berkata Imam Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 1/62, “Telah diriwayatkan dari riwayat-riwayat yang aneh dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pengulangan dalam mengusap kepala, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut -bersamaan dengan menyelisihi riwayat para huffazh ‘ahli hafalan’ yang tsiqah- bukanlah hujjah di kalangan Ahli Ma’rifat ‘para ulama’ walaupun sebagian Ashhab ‘orang-orang Syafi’iyah’ berhujjah dengannya.”

Berkata Abu Daud dalam As-Sunan 1/64 (cet. Dar Ibnu Hazm), “Hadits-hadits ‘Utsman yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali saja.”

Ini kesimpulan secara global tentang kelemahan riwayat mengusap kepala tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun penjelasan lemahnya secara rinci adalah sebagai berikut.

Penyebutan kepala diusap tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan datang dalam lima jalan:

Pertama , dari jalan ‘Abdurrahman bin Wardan, dari Abu Salamah, dari Humran, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 107, Al-Bazzar no. 418, Ad-Daraquthny 1/91, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 328, dan Al-Baihaqy 1/62.

‘Abdurrahman bin Wardan ini rawi yang lemah di tingkatan syawahid ‘pendukung’.

Kedua , dari jalan ‘Amir bin Syaqiq bin Jamrah, dari Syaqiq bin Salamah, dari ‘Utsman.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 110, Ad-Daraquthny 1/91 dan Al-Baihaqy 1/63. Di dalam sanad hadits ini ada dua cacat:

1. ‘Amir bin Syaqiq adalah layyinul hadits ‘lembek haditsnya’ sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib .
2. ‘Amir bin Syaqiq telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini karena, dalam Sunan Abu Daud , Musnad Al-Bazzar no. 393, dan Shahih Ibnu Khuzaimah , dia meriwayatkan hadits yang sama dan tidak menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali.

Ketiga , dari jalan Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Maryam, dari Ibnu Darah Maula ‘Utsman, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Ahmad 1/61, Ad-Daraquthny 1/91-92, Al-Baihaqy 1/62, Al-Maqdasy no. 364, dan Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no. 136. Ibnu Darah ini majhulul hal ‘tidak dikenal’ sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/146 (cet. Mu’assah Qurthubah), dan ada kemungkinan dia goncang dalam meriwayatkan hadits ini, sebab dalam riwayat Al-Bazzar no. 409 tidak disebutkan mengusap kepala tiga kali.

Kempat , dari jalan Ishaq bin Yahya, dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy 1/63. Ishaq bin Yahya ini matrukul hadits ‘ditinggalkan haditsnya’.

Kelima , dari jalan Shalih bin Abdul Jabbar, dari Ibnu Bailamany, dari ayahnya, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthny 1/92 dan di dalam sanadnya ada tiga kelemahan:

1. Shalih bin ‘Abdul Jabbar meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari Ibnul Bailamany. Demikian komentar Al-‘Uqaily.
2. Ibnul Bailamany, namanya adalah Muhammad bin Abdurrahman. Ia ini rawi yang mungkarul hadits, bahwa dianggap Muttaham ‘dicurigai berdusta’, oleh Ibnu ‘Ady dan Ibnu Hibban.
3. Ayah Ibnul Bailamany, yaitu ‘Abdurrahman, dha’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Lihat Mizanul I’tidal , Lisanul Mizan , Taqribut Tahdzib dan lain-lain.

Catatan

ada beberapa jalan lain yang disebutkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badru Al-Munir, tapi setelah saya merujuk keasalnya, ternyata tidak ada lafazh mengusap kepala tiga kali. Karena itu, kami tidak menyebutkannya.

Hadits Ketiga

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib.

Iman Az-Zaila’iy dalam kitabnya, Nashbur Rayah 1/32-33, menyebutkan bahwa ada tiga jalan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali. Berikut ini uraian jalan-jalan tersebut.

Pertama , dari jalan Abu Hanifah meriwayatkan dari Khalid bin ‘Alqamah, dari ‘Abdul Khair, dari Aly.

Diriwayatkan oleh Abu Hanifah sebagaimana dalam Musnad -nya, Abu Yusuf dalam Kitabul Atsar no. 4,dan Al-Baihaqy 1/63.

Di dalamnya ada dua kelemahan:

1. Abu Hanifah dha’if menurut jumhur ulama Al-Jarh Wat-Ta’dil. Baca Nasyru Ash-Shahifah karya Syaikhuna Muqbil rahimahullah.
2. Imam Ad-Daraquthny menyebutkan bahwa Abu Hanifah telah menyelisihi sekelompok ulama Al-Huffadz ‘ahli hafalan’ seperti Zaidah bin Qudamah, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, Abu ‘Awanah, Syarik, Ja’far bin Harits, Harun bin Sa’d, Ja’far bin Muhammad, Hajjaj bin Artha`ah, Aban bin Taghlib, Aly bin Shalih, Hazim bin Ibrahim, Hasan bin Shalih dan Ja’far Al-Ahmar. Semua menyebutkan bahwa kepala hanya diusap satu kali, bukan tiga kali. Demikian dinukil Az-Zaila’iy dalam Nashbur Rayah dan lihat juga ‘ Ilal Ad-Daraquthny 448-31.

Kedua , diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dalam Musnad -nya no. 736 dari jalan Abu Daud Ath-Thayalisi, dari Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, dari Abu Ishaq, dari Abu Hayyah bin Qais, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dan disebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya tiga kali.

Demikian riwayat Al-Bazzar. Tetapi riwayatnya ini diselisihi oleh para imam lainnya seperti Abu Daud dalam Sunan -nya no. (?) , At-Tirmidzy no. (?) , An-Nasa`i no . (?) , Ibnu Majah no. 436, 456, Al-Bukhary dalam Al-Kuna hal. 24, Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad 1/127,157, Abu Ya’la no. (?) , Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 795-798, dan Al-Baihaqy 1/75.

Maka jelaslah dari sini ada kesalahan dalam riwayat Al-Bazzar. Tetapi, dari mana asal kesalahan ini, sedangkan seluruh rawi Al-Bazzar Muhtajun Bihim ‘dipakai berhujjah’?

Penulis lebih condong menitikberatkan kesalahan pada Al-Bazzar karena beliau memiliki kelemahan dari sisi hafalannya. Wallahu A’lam.

Ketiga , diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1336. Di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang saya tidak temukan biografinya, dan ada rawi yang bernama Sulaiman bin Abdurrahman dha’if dan rawi lain bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ubaidillah Al-Himsyi dha’if kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar.

Hadits Keempat

Hadits Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 5912 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضْ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثُا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلاَثًا وَغَسَلَ قَدَمَيْهِ ثَلاَثًا

“Sesungguhnya Rasulullah berwudhu maka beliau berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali dan mencuci wajahnya tiga kali dan mencuci kedua tangannya tiga kali mengusap kepalanya tiga kali dan mencuci kedua kakinya tiga kali.”

Di dalam sanadnya terdapat dua cacat:

1. Guru Imam Ath-Thabarany, Muhammad bin Yahya bin Al-Mundzir Al-Qazzaz Al-Bashry, tidak disebutkan padanya jarh dan ta’dil.
2. ‘Amir bin ‘Abdul Wahid Al-Ahwal disimpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib bahwa beliau adalah shaduqun yukhti`u, berarti ia menurut penilaian Al-Hafizh hanyalah dipakai sebagai pendukung. Kemudian tidak pantas ia bersendirian dari ‘Atha` bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits yang seperti ini karena ‘Atha` adalah seorang rawi yang terkenal mempunyai banyak murid lalu dimana murid-muridnya yang lain yang lebih senior? Kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini? Wallahu A’lam.

Dari uraian di atas jelaslah lemah pendapat bahwa kepala boleh diusap lebih dari satu kali. Berarti dengan hal ini nampak kuat pendapat bahwa kepala hanya diusap satu kali.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Syaikh Muqbil, dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Baca Al-Mughny 1/178-180, Al-Majmu’ 1/460-465, Al-Fatawa 21/125-127.

Mengusap Telinga Dengan Air Tersendiri

Dalam praktik wudhu di tengah masyarakat, kebanyakan dari mereka ketika mengusap kepala mengambil air kemudian setelah itu mengambil air lagi untuk mengusap telinga. Ini juga merupakan kesalahan dalam wudhu.

Kami tegaskan demikian karena dua alasan:

Alasan pertama , dalil-dalil yang dipakai tentang disyariatkannya mengambil air baru untuk telinga bersumber dari hadits yang lemah, yakni hadits ‘Abdullah bin Zaid,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الَّذِيْ أَخَذَ لِرَأْسِهِ

“Sesungguhnya ia melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu beliau mengambil untuk kedua telinganya air selain dari air yang dia ambil untuk kepalanya.”

Hadits dengan lafazh ini diiriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dari jalan Al-Haitsam bin Kharijah dari Ibnu Wahb dari ‘Amir bin Harits dari ‘Itban bin Waqi’ Al-Anshary dari ayahnya dari ‘Abdullah bin Zaid. Imam Al-Baihaqy juga menyebutkan bahwa ada rawi lain juga meriwayatkan hal yang sama dari Ibnu Wahb yaitu ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Imran bin Miqlash dan Harmalah bin Yahya.

Hadits ini syadz ‘lemah’ sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram . Kami menetapkan syadz-nya hadits ini karena tiga sebab:

1. Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Ibnu Wahb tetapi dengan lafazh,

وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ

“Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bukan sisa (air untuk mencuci) tangannya.”

1. Imam Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyebutkan bahwa Ibnu Daqiq Al-Ied melihat dalam riwayat Ibnul Muqri’ dari Harmalah dari Ibnu Wahb bukan seperti lafazh Al-Baihaqy tetapi seperti lafazh Muslim.
2. Enam orang rawi semua meriwayatkan dari Ibnu Wahb dan mereka menyebutkan hadits dengan lafazh riwayat Muslim. Enam rawi itu adalah: Harun bin Ma’ruf, Harun bin Sa’id, Abu Ath-Thahir, Hajjaj bin Ibrahim Al-Azraq, Ahmad bin ‘Abdirrahman bin Wahb, dan Syuraij bin Nu’man. Lihat riwayat mereka dalam Shahih Muslim no. 236, Musnad Abu ‘Awanah , dan Musnad Ahmad 4/41.

Nampaklah dari sini kesalahan riwayat Al-Baihaqy yang menetapkan bahwa telinga diusap dengan air tersendiri, sehingga riwayat ini tidak bisa dipakai berhujjah.

Alasan kedua , mengambil air tersendiri untuk kedua telinga adalah menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , sebab dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Kedua telinga itu bagian dari kepala.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 36 )

Maksud hadits ini bahwa telinga itu bagian dari kepala dan hukumnya sama dengan kepala. Karena bagian dari kepala, maka kedua telinga diusap dengan air yang diambil untuk kepala.

Sebagai kesimpulan bahwa kedua telinga diusap dengan air lebih dari kepala setelah mengusap kepala dan tidak disyaratkan mengambil air tersendiri untuk telinga. Wallahu a’lam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan cara wudhu yang pasti dari beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam riwayat Ash-Shahihain (Bukhary-Muslim) dan lain-lainnya dari beberapa jalan, tidak ada padanya (keterangan) mengambil air baru bagi telinga.” Lihat Al-Fatawa 11/279.

Berkata Ibnul Qayyim, “Dan tidak tsabit ‘tetap/shahih’ dari beliau bahwa beliau mengambil untuk kedua (telinga)nya air baru.” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Pendapat yang kami kuatkan ini adalah pendapat Jumhur ulama.

Baca Al-Mughny 1/183-184, Al-Majmu’ 1/424-426, Nailul Authar 1/204 dan lain-lainnya.

Mengusap Leher dan Tengkuk

Ternasuk kesalahan dalam berwudhu adalah mengusap leher atau sebagian darinya seperti tengkuk. Kesalahan perkara tersebut adalah jelas karena tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Yang ada hanyalah hadits-hadits yang lemah ataupun palsu, di antaranya:

Hadits Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ رَأْسَهُ حَتَّى بَلَغَ القَذَالَ وَمَا يَلِيْهِ مِنْ مُقَدَّمِ الْعُنُقِ

“ Sesungguhnya beliau melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepalanya hingga ke belakang kepala (tengkuk) dan yang setelahnya dari permulaan batang leher .”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/481, Abu Daud no. 132, Al-Baihaqy 1/60, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’an y Al-Atsar 1/30, Ath-Thabarany 19/180/407, dan Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad 6/169. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Laits bin Abi Sulaim dan ia adalah seorang rawi yang lemah. Juga riwayat Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya ada kelemahan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan memisah antara kumur-kumur dan menghirup air.

Mungkin karena itulah Imam An-Nawawy, dalam Al-Majmu’ 1/488, berkata , “ Ia adalah hadits yang lemah menurut kesepakatan (para ulama-pent.) .”

Demikian pula hadits yang berbunyi,

مَسَحُ الرَّقَبَةِ أَمَانٌ مِنَ الْغُلِّ

“ Mengusap leher adalah pengaman dari Al-Ghill ‘ dengki, iri hati, benci ’ .”

Juga hadits yang berbunyi,

مَنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عُنُقَهُ لَمْ يُغَلَّ بِالْأَغْلاَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“ Siapa yang berwudhu dan mengusap lehernya, ia tidak akan dibelenggu dengan (rantai) belengguan hari kiamat .”

Kedua hadits ini adalah hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al- Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 69 dan 744.

Berkata Imam An-Nawawy , “ Tidak ada sama sekali (hadits) yang shahih dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalamnya (yakni dalam masalah mengusap leher/tengkuk-pent.) .”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 21/127-128, “Tidak benar dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau mengusap lehernya dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan hal tersebut dari beliau dalam hadits yang shahih. Bahkan hadits-hadits shahih, yang di dalamnya ada (penjelasan) sifat wudhu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , (menerangkan bahwa) beliau tidak mengusap lehernya. Karena itulah, hal tersebut tidak dianggap sunnah oleh Jumhur Ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi ’ iy dalam zhahir madzhab mereka …, dan siapa yang meninggalkan mengusap leher, maka wudhunya adalah benar menurut kesepakatan para ulama .”

Berkata Ibnul Qayyim, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari beliau tentang mengusap leher .” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Baca Al-Majmu’ 1/488 dan Nailul Authar 1/206-207.

Berdoa Setiap Kali Mencuci Anggota Wudhu

Tidak jarang kita melihat ada orang yang berwudhu, ketika berkumur-kumur, membaca,

اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا

“Ya Allah berilah saya minum dari telaga Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”

Lalu ketika mencuci wajah, dia membaca ,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ

“Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah menjadi hitam.”

Kemudian ketika mencuci tangan, dia membaca ,

اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ

“Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”

Selanjutnya ketika mengusap kepala, dia membaca ,

اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ

“Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

Lalu ketika mengusap telinga, dia membaca ,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

“Ya Allah, jadikanlah saya dari orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaiknya.”

Terakhir ketika mencuci kaki, dia membaca ,

اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ

“Ya Allah, kokohkanlah kedua kakiku di atas jembatan (hari kiamat).”

Doa ini banyak disebutkan oleh orang-orang belakangan di kalangan Syafi’iyah, dan ini adalah perkara yang aneh karena tidak ada sama sekali landasan dalilnya. Bahkan Imam Besar ulama Syafi’iyah, yang dikenal dengan nama Imam An-Nawawy, menegaskan bahwa doa ini tidak ada asalnya dan tidak pernah disebutkan oleh orang-orang terdahulu di kalangan Syafi’iyah.

Maka, dengan ini, tidak diragukan bahwa doa ini termasuk bid’ah sesat dalam wudhu yang harus ditinggalkan.

Lihat Al-Majmu’ 1/487-489.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim

Koreksi Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu (1)

Sudah benarkah wudhu kita???? mungkin menurut kita wudhu yang kita lakukan sudah benar, tapi apakah itu sudah benar menurut syariat???ada baiknya kita tinjau artikel berikut ini:

disalin dari darussalaf.or.id
Penulis: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
PERTANYAAN

Berwudhu, suatu kegiatan yang sudah akrab dengan kaum muslimin. Seorang muslim yang ingin beramal ibadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah tentunya juga ingin mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi yang dilakukan orang dalam praktik berwudhu, agar dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Oleh sebab itu, harap diterangkan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi!

JAWABAN

Ada beberapa kesalahan dalam praktek berwudhu di tengah masyarakat. Berikut ini kami akan menerangkan beberapa kesalahan tersebut.

Memisahkan Antara Kumur-Kumur dan Menghirup Air

Memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air, dengan cara mengambil air tersendiri untuk dihirup selain dari air untuk berkumur-kumur, merupakan kesalahan yang hampir merata di tengah masyarakat. Perlu kami terangkan bahwa memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air tidak dilandasi tuntunan yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .

Orang yang melakukan hal tersebut sandarannya hanyalah dibangun di atas hadits yang lemah. Berikut ini penjelasannya.

Hadits Thalhah bin Musharrif dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَالْمَاءُ يَسِيْلُ مِنْ وَجْهِهِ وَلِحْيَتِهِ عَلَى صَدْرِهِ فَرَأَيْتُهُ يَفْصِلُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالْإِسْتِنْشَاقِ

“Saya masuk menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan beliau sedang berwudhu. Air mengucur dari wajah dan jenggot beliau di atas dadanya. Saya melihat beliau memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air ke hidung.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan -nya no. 139, Al-Baihaqy dalam Sunan -nya 1/51, dan Ath-Thabarany jilid 19 no. 409-410. Semuanya dari jalan Al-Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya. Lalu dalam salah satu riwayat Ath-Thabarany dengan lafazh,

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَتَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا يَأْخُذُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مَاءً جَدِيْدًا …

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali. Beliau mengambil air baru (baca: tersendiri) untuk setiap anggota ….”

Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/53 karya anaknya. Ada dua kelemahan dalam sanadnya:

Pertama , terdapat rawi yang bernama Al-Laits bin Abi Sulaimdan ia telah dilemahkan oleh Ibnu Mahdy, Yahya Al-Qaththan, Ibnu ‘Uyyainah, Ibnu Ma’in, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ya’qub Al-Fasawy, An-Nasa`i dan lain-lainnya, bahkan Imam An-Nawawy, dalam Tahdzib Al-Asma` Wa Al-Lughat 1/2/75, menukil kesepakatan para ulama atas lemah dan goncangnya hadits Al-Laits bin Abi Sulaim.

Kedua , ayah Thalhah bin Musharrif adalah rawi yang majhul ‘tidak dikenal’.

Baca Tahdzibut Tahdzib , Al-Badrul Munir 3/277-286, At-Talkhish Al-Habir 1/133-134, dan Nashbur Rayah 1/17.

Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam At-Talkhish , menyebutkan bahwa Ibnus Sakan menyebut dalam Shahih -nya satu hadits dari jalan Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah, bahwa beliau berkata,

شَهِدْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا فَأَفْرَدَا الْمَضْمَضَةَ مِنَ الْإِسْتِنْشَاقِ ثُمَّ قَالاَ : هَكَذَا رَأَيْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ

“Saya menyaksikan ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu keduanya menyendirikan (baca: memisahkan) kumur-kumur dari menghirup air. Kemudian keduanya berkata, ‘Demikianlah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu.’.”

Saya berkata , “Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanad hadits ini, tapi bisa dipastikan bahwa hadits ini lemah karena ‘Utsman bin ‘Affan, dalam riwayat Bukhary-Muslim dan selainnya, telah memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu dan beliau tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air. Demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib, dalam riwayat yang shahih dari beliau, memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu, tetapi tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air.

Kemudian saya menemukan sanad hadits Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut, yaitu diriwayatkan oleh Ibnul Ja’d sebagaimana dalam Al-Ja’diyyat no. 3406 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 347 dari jalan ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, dari ‘Abdah bin Abi Lubabah, dari Syaqiq bin Salamah, sama dengan lafazh yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tapi ‘Ali bin Abi Thalib tidak disebutkan.

Adapun ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, yang ada di dalam sanad, adalah rawi yang dha’if maka hadits ini adalah mungkar karena menyelisihi riwayat para rawi yang tsiqah ‘terpercaya’ yang tidak menyebutkan lafazh ini.”

Maka sebagai kesimpulan, seluruh hadits, yang menjelaskan bahwa kumur-kumur dipisah dari menghirup air, adalah lemah.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1/398, “Adapun memisah (antara kumur-kumur dan menghirup air-pent.), tidak ada sama sekali hadits yang tsabit ‘kuat, sah’. Yang ada hanyalah hadits Thalhah bin Musharrif dan ia adalah (rawi yang) lemah.”

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/192-193, “Dan tidaklah datang (keterangan tentang) memisah antara kumur-kumur dan menghirup air dalam hadits yang shahih sama sekali.”

Setelah membaca uraian lemahnya hadits yang menjelaskan disyariatkannya memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air, mungkin akan muncul pertanyaan di dalam benak, “Kalau cara memisah antara kumur-kumur dan menghirup air itu salah, lalu bagaimana cara yang benarnya?”

Jawabannya dari dua sisi:

Secara global , kami menetapkan bahwa berkumur-kumur dan menghirup air adalah menggabungkannya dengan cara mengambil air lalu digunakan untuk berkumur-kumur sekaligus menghirup air.

Secara rinci , dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam diterangkan tiga kaifiyah ‘cara’ dalam berkumur-kumur dan menghirup air.

Pertama ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaan dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali cidukan. Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا

“Maka beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan. Beliau mengerjakan itu sebanyak tiga kali.”

Kedua ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaansebanyak tiga kali dari satu kali cidukan air dengan satu telapak tangan. Cara ini, walaupun agak sulit diterapkan, tetapi memungkinkan dan bisa dilakukan, sebab kaifiyah ini telah diterangkan dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ

“Maka beliau berkumur-kumur dan (menghirup air lalu) mengeluarkannya sebanyak tiga kali dari satu cidukan.”

Ketiga ,berkumur-kumur tiga kali lalu menghirup air tiga kali dari satu kali cidukan dengan satu telapak tangan. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا

“Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali.” (diriwayatkan olehAbu Daud, An-Nasa`idan lain-lain, dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Jami’ Ash-Shahih dan Al-Hafizh, dalam At-Talkhish , menyebutkan jalan-jalan yang banyak dari hadits ini)

Walaupun hadits ini mengandung ihtimal ‘kemungkinan’, tetapi zhahirnya menunjukkan kaifiyah tersendiri. Wallahu a’lam.

Baca Ikhtiyarat Ibnu Qudamah 1/158, Al-Mughny 1/170-171, dan Al-Majmu’ 1/397-398.

Lalai Dalam Menyempurnakan Wudhu

Lalai dalam menyempurnakan wudhu, sehingga menyebabkan ada bagian dari anggota wudhu (anggota badan dalam berwudhu) yang terluput dari basuhan air, adalah kesalahan besar, apalagi kalau yang terluput dari basuhan air itu adalah anggota yang merupakan rukun wudhu, maka wudhu dianggap batal. Dimaklumi bersama, bahwa anggota yang merupakan rukun wudhu adalah yang tertera dalam ayat 5 surah Al-Maidah,

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian berdiri hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku, lalu usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai ke mata kaki.”

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan kewajiban dan keutamaan menyempurnakan wudhu.

Pertama ,hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengajar seseorang yang jelek shalatnya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

“Jika kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedua ,hadits Laqith bin Saburah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

"Sempurnakanlah wudhu.”

(Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/52, Ahmad 4/32-33, ‘Abdurrazzaq no. 79, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahur no. 284, Ath-Thayalisy no. 171, Al-Bukhary dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 166, Abu Daud no. 141, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i 1/66,79, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/406-407, Ibnu Khuzaimah no. 150 168, Ibnu Hibban no. 1053, 1087, Al-Hakim 1/247-248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/50, 51, 76 dan 7/303, Ath-Thabarany 19/no. 281, dan Ibnu ‘Abdil Barr 18/223. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih )

Ketiga , hadits Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Aisyah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit dari api neraka.”

Sebab wurud (pengucapan) hadits adalah karena sebagian dari para shahabat yang berwudhu dan hanya mengusap di atas kakinya, maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menegur mereka dengan hadits di atas.

Keempat , hadits ‘Utsman bin ‘Affan, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَطَهَّرُ فَيُتِمُّ الطُّهُوْرَ الَّذِيْ كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فَيُصَلِّيْ هَذِهِ الصَّلَوَاتَ الْخَمْسَ إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَاتٍ لِمَا بَيْنَهُمَا

“Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu ia menyempurnakan wudhu yang Allah tetapkan atasnya kemudian dia mengerjakan shalat lima waktu, kecuali ia menjadi kaffarah (penggugur dosa) di antara kelimanya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Kelima , hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذَُنُوْبَهُ

“Barangsiapa yang berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya kemudian melangkah untuk mengerjakan shalat wajib sehingga ia shalat wajib bersama orang-orang atau bersama jamaah atau di mesjid, maka Allah mengampuni untuk dosa-dosanya.”

Mencuci Anggota Wudhu Lebih Dari Tiga Kali

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam mencuci anggota wudhu, mencontohkan beberapa kaifiyah.

Kadang beliau mencuci anggota wudhunya tiga-tiga kali,sebagaimana yang diterangkan dalam hadits yang sangat banyak, seperti hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim.

Kadang pula beliau mencuci anggota wudhunya dua-dua kali,sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu 2 kali 2 kali.”

Kadang beliau juga mencuci anggota wudhunya satu-satu kali,dan ini merupakan batasan wajibnya. Hal ini diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Bukhary,

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

“Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu satu kali satu kali.”

Selain itu, kadang beliau berselang-seling dalam mencucinya dengan cara mencuci sebagiannya tiga kali, sebagian lain dua dan satu kali, sebagaimana praktik wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam yang diperagakan oleh ‘Abdullah bin Zaid,

فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ وَجَهَهُ ثَلاَثُا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رَجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.

“Maka beliau menuangkan air di atas telapak tangannya kemudian mencucinya tiga kali kemudian beliau memasukkan tangannya (ke dalam bejana) lalu mengeluarkannya kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mencuci wajahnya tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkan kemudian mencuci kedua tangannya sampai ke siku dua kali dua kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mengusap kepalanya; menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan mengedepankannya. Kemudian beliau mencuci kedua kakinya sampai ke mata kaki.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim, dan lafazh ini milik Muslim)

Ini tuntunan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam mencuci anggota wudhunya, tidak dinukil beliau mencuci anggota wudhunya lebih dari tiga kali, bahkan yang ada adalah larangan melebihi tiga kali sebagaimana yang diterangkan dalam hadits dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوْءِ فَأَرَاهُ ثَلاَثًا ثَلاَثُا فَقَالَ : هَذَا الْوُضُوْءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ

“Datang seorang A’raby kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bertanya kepadanya tentang wudhu. Maka beliau memperlihatkan wudhu tiga-tiga kali lalu beliau berkata, ‘Inilah wudhu, siapa yang menambah di atas ini maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.’.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 135, Ibnu Majah no. 422, An-Nasa`i no. 140, Ahmad 2/180, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 75, Ibnu Khuzaimah no. 174, Ath-Thahawy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/36 , Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/361 no. 329, dan Al-Baihaqy 1/79 dengan sanad yang hasan)

Para ulama menyebutkan bahwa dikatakan ia berbuat jelek karena meninggalkan yang lebih utama dan dikatakan melampaui batas karena melampaui batasan sunnahnya dan dikatakan berbuat zhalim karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Tapi, perlu diingat, bahwa larangan mencuci anggota wudhu lebih dari tiga kali ini berlaku kalau anggota wudhunya dengan tiga kali telah terbasuh sempurna dengan air, adapun seperti orang yang berada di terik matahari atau semisalnya kemudian tatkala dia membasuh anggota wudhunya tiga kali dan ternyata setelah itu masih ada bagian yang belum tersentuh oleh air maka di sini ia boleh menambah dan membasuh bagian yang belum tersentuh air tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas tentang kewajiban menyempurnakan wudhu.

Selain itu, para ulama berbeda pendapat tentang larangan melebihkan cucian dari tiga kali, apakah larangan itu bersifat makruh atau haram.

Imam Syafi’i dan mayoritas ulama syafi’iyah menganggap hal tersebut makruh karahah tanzih ‘makruh yang tidak sampai haram’.

Ibnul Mubarak berkata, “Saya tidak menjamin seseorang yang melebihkan wudhunya lebih dari tiga kali bahwa ia tidak berdosa.”

Berkata Ahmad dan Ishaq, “Tidak ada yang menambah lebih dari tiga kali kecuali orang yang tertimpa musibah/malapetaka.”

Imam Al-Bukhary berkata, “Dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menerangkan bahwa kewajiban wudhu adalah satu-satu kali dan beliau juga berwudhu dua-dua kali dan tiga-tiga kali dan beliau tidak menambah di atas tiga kali, dan para ulama menganggap makruh berlebihan di dalamnya dan melewati perbuatan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Itu juga adalah bid’ah dan kesesatan menurut kesepakatan kaum muslimin. Bukanlah sunnah dan bukan ketaatan dan qurbah ‘pendekatan diri’ dan siapa yang mengerjakannya di atas dasar itu sebagai ibadah dan ketaatan maka hendaknya dilarang dari hal tersebut. Kalau tidak mau, maka diberi ta’zir ‘hukuman pelajaran’ untuknya karena itu.”

Baca Al-Mughny 1/193-194, Shahih Al-Bukhary bersama Fathul Bary 1/232-234, Al-Majmu’ 1/466-468, Al-Fatawa 21/168, Nailul Authar 1/218, dan lain-lain.

Mengusap Kepala Tiga Kali

Mengusap kepala tiga kali juga termasuk kesalahan-kesalahan dalam wudhu karena hal tersebut tidak dibangun di atas landasan yang kuat.

Untuk mengetahui tidak kuatnya landasan pendapat ini simak uraian pendapat para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama , disunnahkan mengusap kepala tiga kali. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya, pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan Daud Azh-Zhahiry. Dalilnya sebagai berikut:

1. Hadits-hadits yang disebutkan di atas bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Masuk di dalamnya tiga kali-tiga kali.
2. Mereka juga berdalilkan dengan hadits ‘Utsman bin ‘Affan dalam sebagian riwayat dengan lafazh,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا

"Dan beliau mengusap kepalanya tiga kali.”

Pendapat kedua , tidak disyariatkan mengusap kepala kecuali satu kali. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Salim bin ‘Abdillah, An-Nakha’iy, Mujahid, Thalhah bin Musharrif dan Al-Hakam bin ‘Utaibah.

Dalil akan kuatnya pendapat ini sangat banyak, di antaranya:

* Hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Kemudian beliau mengusap kepalanya mengedepankan dan mengebelakangkannya satu kali.”

* Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencontohkan wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ,

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

“ Kemudian beliau mengusap kepalanya satu kali .”

Riwayat Abu Daud no. 111, Tirmidzy no. 48, An-Nasa`i no. 92, Ahmad 1/154, Al-Baihaqy 1/68, Al-Maqdasy no. 642, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih .

* Hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , yang hadits-hadits tersebut menyebutkan seluruh anggota wudhu dicuci tiga kali kecuali kepala tidak disebutkan berapa kali diusap. Ini menunjukkan bahwa jumlah usapan kepala tidaklah sama dengan anggota yang lainnya.

Adapun dalil-dalil pendapat pertama di jawab sebagai berikut,

1. Konteks hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mencuci anggota wudhunya tiga kali-tiga kali adalah riwayat yang global/mutlak dan riwayat global ini telah diterangkan secara rinci dalam hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala satu kali.
2. Seluruh hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala lebih dari satu kali adalah hadits-hadits yang lemah.