pantas saja dunia pendidikan kita gak maju-maju, dana buat pendidikan malah masuk kantong sendiri, udah gitu ga ada penindakan tegas.
Komisi X DPR dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tidak melakukan tindakan apapun saat melihat korupsi dan penyimpangan dalam penggunaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Ini lantaran penyalahgunaan dalam pengelolaan dan penggunaan BOS tak diberikan sanksi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar dan Tubagus Deddy Gumelar serta Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, Rabu (11/8).
"Sekolah tidak bisa disalahkan dalam hal inakuntabilitas dan buruknya transparansi. Seharusnya yang dimintai pertanggungjawaban selaku pemberi dana bantuan tersebut. Sebelum dana bantuan disalurkan, Kemendiknas seharusnya meminta setiap sekolah yang akan dibantu membuat susunan anggaran kebutuhan,'' ujar Ade.
Raihan Iskandar menyatakan, harus ada susunan program anggaran dulu dari sekolah kepada Kemendiknas sebelum dana itu diturunkan. Dari susunan itu akan diketahui berapa buku yang diperlukan dan berapa seragam ataupun alat tulis yang diperlukan untuk biaya operasional sekolah. ''Anggaran tiap sekolah di berbagai daerah itu tidak sama. Kemendiknas tidak dapat menyamakan dana sama di semua daerah,'' jelasnya.
Dari hasil kunjungan di Aceh, banyak ditemukan sekolah yang menggunakan dana BOS untuk membayar gaji guru honorer. ''Misalkan dana BOS yang diterima Rp 500 juta, hanya Rp 5 juta yang digunakan sebagai BOS. Akhirnya sekolah pun memungut dana lagi dari masyarakat padahal SD dan SMP seharusnya gratis,'' ungkap Raihan.
Selain itu, antara Kemendiknas dan Bank Dunia juga tidak transparan terhadap kesepakatan untuk apa dana BOS ini dipergunakan. Apakah untuk biaya operasional atau biaya lain. BOS yang digunakan untuk membayari biaya pendidikan tidak seharusnya didanai dari pinjaman luar negeri. ''Ini akan membentuk karakter buruk bagi siswa karena dibantu oleh utang luar negeri yang harus dilunasi saat mereka dewasa,'' cetus Raihan.
Sedangkan Dedy Gumelar menyebutkan anggaran 20 persen dari APBN seharusnya mencukupi untuk BOS. Ia menambahkan, kalau Bank Dunia sebagai pemberi bantuan sudah memberikan hasil analisis penyaluran dana BOS maka pemerintah harus mengubah sistemnya. ''Mekanisme dan pertanggungjawaban BOS harus diaudit,'' tegasnya.
sumber: republika.co.id
Komisi X DPR dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tidak melakukan tindakan apapun saat melihat korupsi dan penyimpangan dalam penggunaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Ini lantaran penyalahgunaan dalam pengelolaan dan penggunaan BOS tak diberikan sanksi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar dan Tubagus Deddy Gumelar serta Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, Rabu (11/8).
"Sekolah tidak bisa disalahkan dalam hal inakuntabilitas dan buruknya transparansi. Seharusnya yang dimintai pertanggungjawaban selaku pemberi dana bantuan tersebut. Sebelum dana bantuan disalurkan, Kemendiknas seharusnya meminta setiap sekolah yang akan dibantu membuat susunan anggaran kebutuhan,'' ujar Ade.
Raihan Iskandar menyatakan, harus ada susunan program anggaran dulu dari sekolah kepada Kemendiknas sebelum dana itu diturunkan. Dari susunan itu akan diketahui berapa buku yang diperlukan dan berapa seragam ataupun alat tulis yang diperlukan untuk biaya operasional sekolah. ''Anggaran tiap sekolah di berbagai daerah itu tidak sama. Kemendiknas tidak dapat menyamakan dana sama di semua daerah,'' jelasnya.
Dari hasil kunjungan di Aceh, banyak ditemukan sekolah yang menggunakan dana BOS untuk membayar gaji guru honorer. ''Misalkan dana BOS yang diterima Rp 500 juta, hanya Rp 5 juta yang digunakan sebagai BOS. Akhirnya sekolah pun memungut dana lagi dari masyarakat padahal SD dan SMP seharusnya gratis,'' ungkap Raihan.
Selain itu, antara Kemendiknas dan Bank Dunia juga tidak transparan terhadap kesepakatan untuk apa dana BOS ini dipergunakan. Apakah untuk biaya operasional atau biaya lain. BOS yang digunakan untuk membayari biaya pendidikan tidak seharusnya didanai dari pinjaman luar negeri. ''Ini akan membentuk karakter buruk bagi siswa karena dibantu oleh utang luar negeri yang harus dilunasi saat mereka dewasa,'' cetus Raihan.
Sedangkan Dedy Gumelar menyebutkan anggaran 20 persen dari APBN seharusnya mencukupi untuk BOS. Ia menambahkan, kalau Bank Dunia sebagai pemberi bantuan sudah memberikan hasil analisis penyaluran dana BOS maka pemerintah harus mengubah sistemnya. ''Mekanisme dan pertanggungjawaban BOS harus diaudit,'' tegasnya.
sumber: republika.co.id
No comments:
Post a Comment