Islamic Widget

Thursday, November 11, 2010

Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Indonesia ( Rawannya Penyelewengan Dana BOS )

1. Pendahuluan

Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang. Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya. Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan. Selain itu, korupsi pendidikan juga merusak mental pejabat dari melayani menjadi dilayani. Birokrasi pendidikan tidak lagi mendahulukan kepentingan pendidikan, tetapi memprioritaskan kepentingan politik dan bisnis rekanan. Mereka sulit ditemui saat masyarakat kesulitan menghadapi masalah pendidikan. Padahal, sebagian besar pendapatan pajak dari masyarakat dihabiskan untuk membayar gaji, tunjangan, dan honor mereka.

Korupsi pendidikan terjadi karena rendahnya kontrol publik atas kewenangan pengelolaan anggaran pendidikan. Publik tak memiliki akses signifikan terhadap pengelolaan anggaran pendidikan. Dokumen dan informasi anggaran pendidikan cenderung tidak transparan dan dikuasai segelintir elite birokrasi pendidikan. Hal ini meningkatkan peluang penyelewengan anggaran pendidikan.

Penyalahgunaan kewenangan ini juga diperkuat buruknya tata kelola di sektor pendidikan. Perencanaan dan penganggaran pendidikan dilakukan dari atas ke bawah. Politisi dan rekanan dengan mudah menitipkan proyek ke berbagai pos anggaran pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran tidak mencerminkan kebutuhan pendidikan, tetapi justru mengakomodasi kepentingan birokrasi, politisi, dan pengusaha. Sementara itu, birokrat pendidikan menganggap pertanggungjawaban publik bukan hal penting. Pertanggungjawaban keuangan cukup disampaikan kepada instansi atau pejabat lebih tinggi. Lagi pula, sudah ada pengawas internal yang akan mengaudit laporan keuangan mereka.

Di lain pihak, audit oleh pengawas internal sering tidak mampu mendapatkan temuan penyimpangan signifikan. Sebaliknya, audit malah menjadi legitimasi dan pembenaran atas pengelolaan anggaran pendidikan. Pengawas internal pemerintah tumpul saat penyimpangan melibatkan atasan mereka sendiri.

Dalam lima tahun terakhir, korupsi pendidikan potensial terjadi. Hal itu terlihat dari hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Departemen Pendidikan Nasional, pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Berdasarkan perhitungan ICW atas audit BPK hingga semester II-2007, ditemukan potensi penyelewengan di Depdiknas sebesar Rp 852,7 miliar. Penyimpangan itu antara lain terjadi pada pengelolaan aset (Rp 815,6 miliar), tidak tepat sasaran (Rp 10,5 miliar), tanpa bukti pertanggungjawaban (Rp 16,8 miliar), pemborosan (Rp 6,9 miliar), penyimpangan lain (Rp 2,9 miliar).

Berdasarkan audit BPK tahun 2007, enam dari 10 sekolah penerima dana BOS tidak mencantumkan BOS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Sekolah ini juga terbukti melakukan penyimpangan dari petunjuk teknis BOS. Praktik itu antara lain terjadi melalui penggunaan dana BOS untuk acara pisah sambut kepala dinas pendidikan, uang lelah kepala sekolah, iuran PGRI, dibungakan oleh kepala sekolah/bendahara, dan penyimpangan lain. Karena hal tersebut dalam hal ini kami lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai kemungkinan penyelewengan pada dana BOS karena hal ini sangat rawan terjadi.

2. Pembahasan

A. Apa Bos itu???

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skill) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Pada saat ini, jutaan anak usia sekolah di negara kita, dewasa ini masih belum mendapatkan kesempatan bersekolah. Sekitar 1,5 juta di antaranya, anak usia 13 – 15 tahun, terpaksa putus sekolah. Salah satu solusi pemerintah melalui Kemendiknas, menyalurkan dana bantuan dan kemudahan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Jadi dapat dikatakan dana BOS adalah salah satu bentuk Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM bagi rakyat miskin di sektor pendidikan.

Terhitung mulai awal Agustus 2005, pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke seluruh daerah di Indonesia. Secara nasional, jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 5,6 triliun untuk tahap pertama (Juli-Desember 2005). Jumlah itu akan dibagikan kepada siswa miskin dengan rincian RP.27.500/siswa/bulan untuk tingkat SMP dan Rp. Jumlah itu akan dibagikan kepada siswa miskin dengan rincian Rp 27.500/siswa/bulan untuk tingkat SMP dan Rp 19.600/siswa/bulan untuk tingkat SD.
Sekolah akan menerima dana BOS setiap enam bulan sekali melalui rekening sekolah. Alokasinya dimasukkan ke dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang disusun oleh tiap sekolah sehingga penggunaannya harus sesuai dengan kebutuhan sekolah. Dalam pengelolaannya, dana BOS tidak diberikan langsung kepada siswa, melainkan dikendalikan oleh sekolah untuk kepentingan siswa. Untuk sekolah yang selama ini menerima dana dari siswa dalam jumlah lebih kecil daripada BOS, sekolah itu diharuskan menggratiskan sama sekali penyelenggaraan pendidikan bagi siswanya. Sebaliknya, jika selama ini dana yang diterima sekolah lebih besar daripada BOS, dana BOS yang diterima harus diprioritaskan untuk siswa yang kurang mampu.

Kepala sekolah harus proaktif mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus namun berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah. Program BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Dana BOS terbukti memberikan bantuan kepada banyak sekolah di tanah air, terutama untuk jenjang pendidikan dasar (SD). Jenjang pendidikan dasar adalah bagian terpenting dalam dunia pendidikan sebab memberikan dasar-dasar atau landasan pembentukan watak dan intelektualitas sebuah bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke depan harus memberikan kontribusi penting untuk peningkatan mutu pendidikan dasar dan menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan dasar. Dengan adanya BOS, bukan saja sekolah yang terbantu, tapi juga para orang tua yang sebelumnya mengeluhkan tingginya biaya pendidikan. Namun di sisi lain, banyak pula sekolah yang semata-mata mengandalkan biaya operasional sekolah pada BOS. Karena itu, bila ada sekolah yang masih menuntut biaya untuk anak didiknya, banyak orang tua yang langsung bereaksi. Mereka mempertanyakan dana BOS yang sudah dikucurkan oleh pemerintah.

Mulai tahun 2007, pengelolaan program BOS Kemendiknas dan BOS Depag dipisahkan. Kemendiknas bertanggung jawab menyalurkan dana ke sekolah SD/SDLB/SMPLB/SMPT, baik negeri maupun swasta yang berizin operasional dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Departemen Agama, menyalurkan dana ke MI/Mts/Salafiyah/Sekolah keagamaan lainnya, dengan izin operasional dari Depag.Pemprov/Pemkab/Pemkot, berkewajiban menyediakan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) setiap tahun, sebagai sumber utama pembiayaan sekolah. Terutama bagi pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan Sekolah Gratis, maka harus memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari sumber APBD. Menambah dana safeguarding untuk Tim Manajemen BOS di Propinsi/Kabupaten/Kota. Juga memastikan BOS berjalan sesuai dengan panduan yang ditetapkan. Seperti melakukan pengawasan dan audit, terhadap setiap sekolah penerima BOS, termasuk menindaklanjuti jika ada indikasi penyimpangan.

B. Tujuan Dan Sasaran BOS

Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka Wajar 9 tahun yang bermutu. Dan secara khusus program BOS bertujuan untuk :

1. Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta.

2. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).

3. Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program BOS ini. Adapun besarnya biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan :

1. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa/tahun

2. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-/siswa/tahun

3. SMP/SMPLB/SMPT di kota : Rp 575.000,-/siswa/tahun

4. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-/siswa/tahun

Keberadaan dana BOS ini sudah selayaknya disyukuri oleh pihak sekolah dan juga para orang tua. Itu akan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan mengalami peningkatan berarti. Para siswa hanya akan berkonsentrasi pada kegiatan belajar, mereka tidak akan terbebani lagi oleh urusan biaya sekolah. Namun, yang harus terus dipantau adalah konsistensi bahwa dana tersebut akan tersalurkan dengan tepat sasaran kepada pihak sekolah demi kepentingan para siswa. Jelas ini bukan perkara mudah menyalurkan dana triliunan rupiah demi peningkatan kualitas pendidikan. Karena hingga saat ini masih saja kita mendengar berita bahwa masih ada beberapa sekolah yang masih memungut biaya bagi peserta didik di setiap tahun ajaran baru.

Perlu untuk diketahui, bahwa dana BOS tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai berikut :

1. Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan.

2. Dipinjamkan kepada pihak lain.

3. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya.

4. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru.

5. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah).

6. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat.

7. Membangun gedung/ruangan baru.

8. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran.

9. Menanamkan saham.

10. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/secara wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu.

C. Titik-titik Rawan Penyelewengan Dana BOS

Pengucuran dana BOS bagi kepentingan rakyat miskin merupakan angin sejuk bagi dunia pendidikan negeri ini. Potret gelap dunia pendidikan yang sering diwarnai kisah tragis anak miskin putus sekolah atau cerita pilu siswa yang bunuh diri karena tak mampu membiayai sekolah diharapkan akan lenyap. Namun, dana BOS juga bisa berubah wajah menjadi bola panas yang melukai kaum miskin bila penyalurannya tidak tepat. Indikasi ke arah itu jelas terlihat dengan menyingkap tiga titik rawan penyelewengan yang tersembul di balik pemanfaatan dana BOS.

Titik rawan pertama terletak pada penyusunan draf RAPBS. Idealnya, draf RAPBS harus sudah tersusun sebelum dana BOS dicairkan. Sehingga, ketika dana BOS telah masuk ke rekening sekolah, tak ada kesempatan pihak sekolah untuk mengganti daftar rincian alokasi dana. Permasalahan muncul jika draf RAPBS belum selesai dibuat ketika dana BOS telah mengendap dalam kantong sekolah. Bila ini yang terjadi, maka kans penyelewengan akan terbuka lebar. Bisa jadi, pihak sekolah akan menyesuaikan jumlah dana yang turun dengan rincian alokasi dalam RAPBS. Anggaran bisa saja diatur sedemikian rupa sehingga dana BOS dimasukkan dalam pos yang sebenarnya tidak ada realisasinya.

Kekhawatiran itu merebak bila kita menengok fakta di Surabaya. Di kota ini, tercatat baru sekitar 10 persen sekolah negeri yang telah merampungkan penyusunan RAPBS, padahal dana BOS telah masuk ke rekening sekolah (Jawa Pos, 15/09/2005). Itu berarti, sebagian besar sekolah belum tuntas menyusun RAPBS sehingga ada kemungkinan penyelewengan dana BOS tumbuh subur di Surabaya.

Titik rawan kedua adalah penggunaan dana yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan Depdiknas, alokasi pemanfaatan dana BOS tersebar pada tujuh item, yakni pos biaya formulir pendaftaran, buku pelajaran, ujian sekolah, pembelian alat tulis kantor, biaya perawatan fasilitas sekolah ringan, honor guru berstatus honorer, dan bantuan biaya transportasi untuk siswa miskin. Penggunaan dana BOS tidak boleh dialokasikan untuk kebutuhan di luar tujuh item itu. Namun, fakta di lapangan berkata lain. Di Solo, ada beberapa sekolah yang menggunakan dana itu untuk membangun gedung sekolah (Radar Solo, 10/09/2005). Tujuannya adalah untuk mempercantik bangunan sekolah sehingga sedap dipandang mata. Padahal, bagus tidaknya bangunan sekolah tidak berkorelasi dengan kebutuhan riil siswa miskin.Kasus di Solo mungkin saja juga terjadi di daerah lain. Jika tidak untuk membangun sekolah, bisa jadi digunakan untuk memperbanyak perlengkapan sekolah yang sebenarnya kurang dibutuhkan siswa miskin. Tidak tertutup kemungkinan, pihak sekolah juga ingin menikmati dana BOS untuk kepentingannya sendiri.

Titik rawan ketiga adalah manipulasi data jumlah siswa miskin penerima BOS oleh pihak sekolah dan manipulasi data jumlah sekolah oleh pemerintah daerah. Jumlah siswa miskin dan sekolah yang semestinya sedikit bisa saja digelembungkan hingga melonjak berlipat-lipat. Ini bertujuan agar dana BOS yang diterima sekolah maupun pemerintah daerah lebih besar dari yang seharusnya. Sehingga, nantinya terdapat kelebihan dana yang bisa dijadikan “bancakan” oknum-oknum sekolah dan pemerintah daerah yang tidak bertanggung jawab.

D. Penindakan

Tingginya potensi korupsi pendidikan ternyata tak disertai penindakan maksimal. Dari pantauan ICW selama lima tahun, penegak hukum hanya berhasil menindak 142 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 243,3 miliar. Adapun 287 pelaku ditetapkan sebagai tersangka.

Temuan menarik dalam pemantauan ini adalah dinas pendidikan diduga merupakan institusi pendidikan paling korup. Dari 142 kasus, 70 kasus terjadi di lingkungan dinas pendidikan dengan kerugian negara Rp 204,3 miliar. Kepala dinas dan jajarannya diduga merupakan tersangka paling banyak di antara pelaku lain. Di antara 142 kasus, 42 orang adalah kepala dinas pendidikan dan 67 birokrat di bawah kepala dinas pendidikan.

Selain itu, sekolah juga tidak luput dari praktik korupsi. Sebanyak 46 kasus terjadi dalam lingkungan sekolah dan 43 kepala sekolah telah ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara yang ditimbulkan tidak sedikit, lebih dari Rp 4,1 miliar.

Ironisnya, penindakan terkesan tumpul saat mengusut dugaan korupsi di Depdiknas. Dalam lima tahun terakhir, penegak hukum hanya mampu mengusut dua kasus korupsi. Kasus itu terjadi dalam pengelolaan dana di Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah. Penanganan kasus ini pun terkesan tertutup dan cenderung luput dari pengawasan publik.

3. Sisi Negatif dan Sisi Positif

Adapun sisi negatif dan sisi positif yang dapat diambil dari kasus tersebut diantaranya:

· Sisi Negatif

Dari kasus rawannya penyelewengan dana BOS harus kita akui bahwa negara kita memang negara yang sangat korup. Kasus tersebut hanya dilihat dari segi pendidikan, entah bagaimana dengan institusi lain di indonesia. Bangsa kita mungkin akan tetap menjadi bangsa yang tertinggal jika hal ini terus dibiarkan. Karena bagaimana bangsa ini akan menjadi cerdas jika dana untuk mencerdaskan bangsa malah dikorupsi.

Kasus ini dapat terjadi dapat disebabkan oleh salah satu hal yaitu komite sekolah jarang ada yang mengawasi penggunaan dana BOS. Komite sekolah seharusnya terdiri dari para tokoh dan para tua murid di sekolah itu. Istilah kerennya "stakeholder". Tapi, pada kenyataannya komite sekolah biasanya fiktif. Orang tua murid hanya dilibatkan segelintir saja, yang bisa tutup mulut. Pemilihan Ketua Komite Sekolah pun pada umumnya yang bisa diatur oleh Kepala Sekolah.

Kayaknya di kebanyakan sekolah kejadiannya kepala sekolah adalah RAJA dalam pengelolaan BOS. Kadang juga dengan bendahara sekolah dalam kebanyakan kasus. Percuma ada Komite Sekolah kalau masih saling "simbiosis mutualisme" dengan Kepala Sekolah.

Selain itu birokrasi masih menjadi biang kebocoran dana negara. Mestinya Kementerian Pendidikan Nasional sudah melihat hal ini jauh ke depan dan tidak dengan begitu ambisius melancarkan iklan “sekolah gratis”. Apalah arti makna “sekolah gratis”, jika reformasi birokrasi di lingkungan Kemendiknas masih jauh dari harapan serta terjadi penyalahgunaan anggaran karena ketidakprofesionalan pejabat Kemendiknas baik di pusat maupun daerah serta mental korup yang masuk dalam sendi-sendi para pendidik?

· Sisi Positif

Dengan adanya kasus tersebut dapat diambil hikmah agar kejadian tersebut dapat ditangani. Korupsi pendidikan harus segera diusut tuntas. Hal ini diharapkan memberikan efek jera bagi aktor lain agar kebocoran anggaran dapat ditekan. Penindakan senantiasa didasarkan pada dampak buruk korupsi pendidikan, seperti meningkatnya ruang kelas rusak, guru tidak sejahtera, meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua murid, dan meningkatnya anak putus sekolah, terutama pada kelompok miskin dan perempuan.

Kontrol publik atas penyelenggaraan pendidikan harus terus ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan mendorong munculnya gerakan sosial untuk terlibat aktif dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan. Di tingkat pusat, kebijakan nasional pendidikan serta APBN pendidikan pantas mendapat fokus pengawasan. Begitu juga di daerah, pengelolaan dana pendidikan di tingkat dinas dan sekolah senantiasa diawasi. Tanpa perubahan ini, kebocoran anggaran pendidikan mustahil ditekan. Warga negara semakin jauh dari hak pendidikannya.

4. Solusi

Dalam konteks dana BOS, perlu adanya aturan hukum yang jelas dan mengikat bahwa dana tersebut adalah milik masyarakat yang harus digunakan untuk kepentingan masyarakat pula. Pendidikan adalah salah satu hak warga negara yang wajib dilayani oleh pemerintah pemenuhannya. Dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat regulasi pengucuran dana BOS sehingga tepat sasaran. Pengelolaan program BOS untuk SD dan SMP di tingkat pusat dikelola oleh masing-masing direktorat. Direktorat Pembinaan TK/SD bertanggung jawab terhadap program BOS untuk SD/SDLB, sedangkan Direktorat Pembinaan SMP bertanggung jawab terhadap program BOS untuk SMP/SMPLB/SMPT. Pengelolaan program BOS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dikelola oleh satu tim.

Agar program ini berjalan lancar dan transparan maka perlu dilakukan monitoring dan pengawasan yang dilakukan secara efektif dan terpadu. Bentuk kegiatan monitoring adalah melakukan pemantauan, pembinaan dan penyelesaian masalah terhadap pelaksanaan program BOS. Secara umum tujuan kegiatan ini adalah untuk meyakinkan bahwa dana BOS diterima oleh yang berhak dalam jumlah, waktu, cara dan penggunaan yang tepat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2005 yang dirubah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 65 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Atas dasar tersebut dan sesuai dengan panduan BOS, selain menyelenggarakan fungsi pengawasan dan pemeriksaan pada unit kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional, Inspektorat Jenderal juga melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan penyaluran dan pemanfaatan dana BOS. Adapun komponen utama yang dimonitor antara lain :

Alokasi dana sekolah penerima bantuan

Penyaluran dan penggunaan dana

Pelayanan dan penanganan pengaduan

Administrasi keuangan

Pelaporan

Dan pelaksanaan kegiatan monitoring dilakukan oleh Tim Manajemen BOS Pusat, Tim Manajemen BOS Provinsi, Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota. Kegiatan monitoring dilakukan dengan tujuan untuk memantau :

1. Penyaluran dan penyerapan dana

2. Kinerja Tim Manajemen BOS

3. Penggunaan dan pengelolaan dana safeguarding.

Sedangkan kegiatan pengawasan adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan keuangan negara, pungutan liar dan bentuk penyelewengan lainnya. Pengawasan program BOS meliputi pengawasan melekat (waskat), pengawasan fungsional internal, pengawasan eksternal dan pengawasan masyarakat

Pemerintah harus dengan gencar menyosialisasikan tentang adanya kucuran dana BOS beserta ketentuan penggunannya kepada publik. Masyarakat, terutama kaum miskin, belum cukup memahami apa itu BOS, komponen biaya apa saja yang tercakup dalam BOS, dan kemana harus menyampaikan pengaduan seandainya ada indikasi penyelewengan yang ditemukan. Karena itu, sosialiasi pemerintah harus mampu menembus setiap lapisan masyarakat dan mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang BOS dengan segala seluk-beluknya. Selain itu Pemerintah juga harus mengajak masyarakat untuk turut serta mengawasi penggunaan dana BOS. Kalangan LSM dan DPR/DPRD juga perlu berpartisipasi dalam pengawasan ini. Kalau perlu, dibentuk komisi tersendiri yang khusus bertugas memonitor setiap alur aliran dana yang turun ke sekolah. Dengan begitu, diharapkan celah-celah penyimpangan akan tertutup rapat sehingga dana BOS dapat tepat mencapai sasaran


Referensi :

1. www.itjen.depdiknas.go.id

2. Febri Hendri AA Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) ( Kompas, 24 September 2009 )

3. Radar Mojokerto, 26 November 2005



0 komentar:

Post a Comment